Rabu, 15 Mei 2013

Dee (Rectoverso)

Karena Waktu Menolak Mundur - from Rectoverso

“… Aku tidak tahu kemalangan jenis apa yang menimpa kamu, tapi aku ingin percaya ada insiden yang cukup dahsyat di dunia serba selular ini hingga kamu tidak bisa menghubungiku. Mungkinkah matahari lupa ingatan, lalu keasyikan terbenam atau terlambat terbit? Bahkan kiamat pun hanya berbicara soal arah yang terbalik, bukan soal perubahan jadwal.” [Dee, Recto Verso]

Aku tahu, kau tidak menggugatku serupa itu. Kita menetap di kolong langit yang sama dan melihat siklus edar matahari yang senada. Dan kau pun, meski terkadang childish, bukanlah sosok melankolis atau sok filosofis yang senang merumit-rumitkan kalimat untuk memaafkan kealpaan seseorang. Kau bukan orang yang suka memparodikan kegetiran diri seperti yang acap kulakoni. Meski kita pernah
berkali-kali makan menu yang sama, kita menjalani hidup dengan cara berbeda.
Tapi apakah tanpa serangan gugatan aku tidak boleh membuat pengakuan? Bahwa aku telah memanjakan pengabaian dengan menamainya lupa. Ya, karena aku sendiri tidak tahu apa batas dan defenisi yang wajar dari bagian-bagian terlewat yang kemudian kita sahkan sebagai lupa. Apakah segala lupa harus dimaafkan? Apakah istilah manusiawi juga harus diberkati meski istilah itu lebih cenderung melukai?
“Tidak apa. Aku tahu kau sudah mendo’akanku tanpa harus mengucapkan sepotong kata selamat. Yang penting, kan, do’a.”
Seringan apa tanganmu saat menekan keypad dan menitahkan gelombang untuk mengirimkan kalimat itu untukku? Aku coba menerka saat membaca. Lalu ikrar tidak tertulis dalam dunia pertemanan membuatku paham, selalu ada usaha untuk saling mengerti dan memahami. Walau untuk menjelmakannya, beragam fantasi pribadi harus lebih dulu siap dibangun. Dan kau melakukannya untukku melalui fantasi soal do’a yang kau yakini sudah kupanahkan ke langit.
Padahal, tidak sulit untuk diakui bahwa meringkas berbanjar nama dalam satu paket dengan konsep sekali tadah dan sekali sebut, lalu mengklaim bahwa Tuhan sudah cukup mahir untuk memilah nama khusus yang saat itu kumaksud, adalah tindakan pembenaran diri yang sangat sempurna. Umpama kau memohon keselamatan bagi seluruh unggas padahal yang kau maksud adalah merpati. Tidakkah itu sebuah fantasi?
Teman, apalah arti sebuah ucapan? Mungkin kau sedang bertanya. Toh, tanpa kata selamat yang sampai tepat waktu pun, Seulawah Agam dan Seulawah Dara masih tetap tegak.
Ya, itu benar. Masih cukup waras pikiranku untuk menerima bahwa sebuah ucapan yang sifatnya personal tidak akan mengubah keadaan secara komunal. Apalagi jika kau sudah memaafkan kealpaanku dan mengaminkannya sebagai lupa, lengkap dengan tanda bahwa itu manusiawi.
Ya, aku tidak mempersoalkan efek itu. Tapi menyadari bahwa aku telah melakukan kealpaan dalam hal yang sama berulang kali, cukuplah membuatku mengerti tentang arti “istimewa” yang harus kucari maknanya kembali. Tentang jumlah ruang untuk hari kemarin yang masih kusediakan meski ruang hari ini menuntut lebih banyak tempat. Tentang hal-hal kecil yang luput padahal itu bagian dari rangkaian hal besar di waktu yang lalu.
Lalu kau, bisakah kau meraba wujud kasih sayang jika seorang pengasih dan penyayang tidak menunjukkannya padamu? Sekurang-kurangnya dalam bahasa yang disepakati penghuni bumi secara umum? Bisakah seorang hakim mendengar pembelaan diri dari seorang terdakwa yang enggan bicara? Atau bisakah seorang ibu mengetahui raungan lapar bayinya di luar jam makan rutin jika bayi itu tidak memberi tanda? Dan begitulah kukira arti hadir sebuah ucapan sebagai sebuah tanda, meski bentuknya begitu sederhana.
Tapi… aku melewatkannya…
Hingga di siang itu, aku terlonjak. Tapi bulan sudah berganti. Ada nyanyian kudengar:
Tahanlah, wahai Waktu
Ada “Selamat ulang tahun”
Yang harus tiba tepat waktunya
Jangan berjalan, Waktu
Ada “Selamat ulang tahun”
Yang harus tiba tepat waktunya
Mundurlah, wahai Waktu
Ada “Selamat ulang tahun”
Yang tertahan tuk kuucapkan
Yang harusnya tiba tepat waktunya
(Dee, Selamat Ulang Tahun)

Dan aku hanya punya kata maaf. Tidak selainnya sekalipun sehela nafas untuk menghidupkan puisi. Dunia serba selular dengan begitu banyak fasilitas gratisan ini mulai mengejekku. Teman, waktu menolak mundur. Kau tahu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar